Saturday 31 May 2014

Kentang, Kumis, Inggris ...


Flashback sebelum hari-hari (tepatnya 2 hari lagi) terakhir submit blog buat ke #InggrisGratis


Kamis, 29 Mei 2014,

Jam 8 malam waktu Indonesia tengah, pas pertama gue ngetik judul di atas.
Gue yang baru aja nyampe rumah sepulang kerja dengan cuaca yang masih mendung dan dingin karena hujan seharian.

Kira- kira setengah jam yang lalu, Gua ngerebahin diri di sofa ruang tamu, ngecek hape yang baru punya signal kalo udah keluar dari area kantor. Entah, sebegitu securenya kantor gue sampe signal operator hape pun gak mau nongol. Gue ngecek twitter, menggeser kursornya terus kebawah melewatkan kicauan-kicauan dominan yang mulai membosankan buat gue yang udah cape seharian kerja. Makin digeser, makin malesin. Sampe akhirnya ada tweet dengan id @MisterPotato_ID dan gue yakin itu admin lagi menjawab pertanyaan seorang followernya yang nanyain apa syaratnya buat ikutan program #InggrisGratis. Yah, gue rasa itu pertanyaan menyebalkan untuk semua admin, pertanyaan yang sering dilontarkan orang tanpa mikir dan usaha untuk googling dulu.

Disisi lain yang lebih nyata, gue termasuk salah seorang yang mungkin jauh lebih bego dari si penanya tadi. Kronologinya, gue follow @MisterPotato_ID itu udah agak lama (agak lama, yang seingat gue udah hampir sekitar sebulan), gegara liat promo ke #InggrisGratis yang disebut-sebut akun lain. Kenapa gue bilang gue bego? Gue punya rasa penasaran, tapi rasa malas gue melunturkan rasa penasaran yang sebenarnya bisa jadi jalan keluar dari kepenatan dan kebosanan gue tiap pulang kerja. 
Dan begonya lagi, gue ngerasa kesibukan gue sebagai pekerja yang gak punya signal internet selama 8 jam, bikin gue malas mengkhayal 'emang bisa ke Inggris modal nulis di blog doang?'
Yah, gue sempat bego dan gue, kejebak comfort zone

Sampe akhirnya gue selesai nulis tiga paragraf diatas, dan gua sadar. This is the real best way to get out of my comfort zone, this why I must go to England. Yah, sambil nulis ini, gue lagi mikirin gimana caranya keluar dari zona nyaman yang rutin gue lakuin tiap hari, masuk kerja setengah 8 pagi dan pulang hampir jam 6 sore dengan uang saku yang habis sebelum tanggal gajian selanjutnya. fiuuuuh… crunchy banget dah kayak keripik.

Gue mikir, ini hidup emang kayak keripik kentang yang bergelombang, diiris tipis2 dan berbumbu, renyah, gurih, dan sedikit terasa pedas. Hidup itu wavy, sejenis aliran musiknya The smiths yang bikin pengen bergoyang, atau dentuman drummernya Arctic Monkeys yang bikin pengen hentakin kaki keras-keras. Hmmm… Andai gue bisa ke Inggris, mungkin gue bisa kesenggol Alex Turner yang lagi jogging sore-sore atau Morrissey tua, yang lagi asik main sama anjingnya. Mesipun gue gak tau Alex sering main dimana, ataupun Morrissey yang punya anjing atau gak.

Inggris itu jauh banget buat gue, inggris itu mimpi yang beneran masih sangat berkabut dan kabur buat gue. Gue gak ngerti dsana jalannya seperti apa, kota-kotanya sebesar apa, udaranya terasa apa, ataukah mungkin langitnya yang lebih terang walaupun saat malam.

Inggris itu bisa jadi cita-cita gue, kayak peta London yang sengaja gue tempel di kamar, berharap one day gue bakal kesana, gimanapun caranya. Dan kalo beneran gue bisa ke kesana, artinya gua selamat (dan maybe bakal selametan). Selamat sebagai seorang yang tiap hari sembunyi di area yang disebut comfort zone yang akhirnya melanglang buana, dan gue bakal bisa pamer ke bos besar gue di kantor, yang tiap pagi kumisnya bikin gue kaget waktu melamun depan komputer dan seolah menyuruh gue buat membuka aplikasi media player, memutar playlist yang rata-rata lagu di dalamnya beraliran britpop. Yah, cuma musik dan bahasa yang bisa membuat gue serasa jadi orang Inggris. Gue sangat suka bahasanya dan gue sangat menyukai musik dan para musisinya. Gue cuma bisa meringis iri, kayak anak kecil yang ngiler liat iklan pizza, menatap penuh harap di depan layar laptop saat gue cuma bisa  menonton music event  atau konser yang digelar di London dkk lewat internet atau yo*tub*. Ou maaan how lucky people to live there?!! Hik.


Seketika angan-angan pemimpi menyambar dengan cepat, satu persatu, seperti piranha kelaparan yang menyerang kepala gue. Gue keingat Benedict Cumberbatch dan Martin Freeman, gua ingat Baker Street, ngebayangin lewat di jalan itu, mengetok sebuah rumah yang dipintunya tertulis 221B. Mungkin di dalamnya ada topi dua sisi yang begitu terkenal sebagai simbol si detektif. Yah, serial Sherlock BBC itu asli seperti mandi madu buat gue. Gue makin jatuh cinta sama Inggris.

Ada tempat lain yang juga bikin gua penasaran di London, Inggris.. House of Parliament yang mau diledakin sama Guy Fawkes. Itu bentuknya gimana? Segede apa? Gue penasaran sama patung The Lady of Justice-nya England, gue penasaran sama studio musik yang dipake rekaman sama musisi-musisi kelas dewa di Abbey Road. Oh oh. Gue bisa gila kalo mengkhayal terus. Dan gue pada kenyataanya cuma bisa nulis ini buat angan-angan gue. England, one day, gue ke situ ya??

Dan akhirnya gue sadar keripik kentang berkumis udah teriak-teriak sedari tadi dari atas lemari gue, seolah meminta gue melahapnya,  seperti ngasih kode ke gue 'ini cara lo buat lepas dari penat'. Khayalan gue pun berenti disini. Gue siap ke England! Krap.. Krap.. Krap..


Thursday 23 January 2014

Berjodoh dilain Kesempatan (part 2)

Dicerita ini, aku hanya orang yang tidak mudah lupa, atau mungkin aku mencoba menghargai memori-memori konyol yang ada dalam kepalaku. Dan karena dia menarik, aku lebih mengingatnya. Dia cukup mengagumkan. Aku mengakuinya, sama seperti perempuan kebanyakan, atau mungkin semua orang yang sudah mengenalnya.

Yah, yang aku tau, dia menarik dan ramah. Selain itu ada tanda ditelinganya yang juga unik :)
Bagaimana aku tahu dia punya tanda itu? Kalian berpikir aku seorang stalker? No. I just pay attention on each details. Everytime I meet him, I learn a thing and I'll remember. Kind of that, I remember the moment from the first time I knew him, I met him, until while we just talk today. That brown shoes, leather jacket, also his hair style that never changed much. But... does he remember who I was? how am I today? Really, I'm not sure.

Dikehidupanku yang sekarang, mungkin aku mendapat banyak jempol, dipuji banyak orang karena keahlianku. Yah, aku mengurus berbagai macam event, ketua tim kreatif yang membuat semuanya terlihat menarik dan sukses. Tapi apakah aku semenarik itu? Once more, I'm not really sure. Sesekali aku akan dipanggil keatas panggung untuk memperkenalkan diri. Sebenarnnya aku tidak terlalu menyukai itu. Aku merasa, saat itu orang-orang hanya membutuhkan profesiku.
Aku mungkin bisa terlihat hebat dihadapan banyak orang, seorang perempuan yang tenang namun efektif. Itu yang mereka bilang. Disisi lain, aku orang yang buruk untuk menunjukkan perasaanku yang sebenarnya.

Disisi yang lain lagi, kebetulan yang sering tidak diengaja, kebetulan-kebetulan yang membuatku sering bertemu dengannya adalah saat aku tidak perlu merasa buruk. Aku merasa waktu membutuhkan aku yang bukan siapa-siapa, terlepas dari profesionalitas, tanpa formal outfit dan make-up. Accidentally, may be, I've become a shadow through his moves. But that time, I know that destiny's making something real to me. When the awkward feeling is coming... and thinking... I am as no body, who adore with every single detail on him, in every single co-incident.co-incidently.

Apa hebatnya berebut layanan di kantin sekolah? Apa hebatnya berjalan-jalan sore atau sekedar jogging? Apa hebatnya aku yang sering ke bioskop sendirian karena tidak ingin berkencan? apa hebatnya menghabiskan waktu di kafe sunyi sebelum aku kembali menjadi pekerja?

Hebatnya adalah.... ketika waktu-waktu yang tidak penting itu menjadi sebuah moment dimana aku berpikir, aku sering bertemu dengan seseorang yang sama, di sebuah tempat, dengan tujuan yang sama tanpa pernah aku berharap atau merencanakan akan bertemu dengannya. Konyol.
Tapi kemudian, muncul pertanyaan-pertanyaan yang tidak akan bisa aku sampaikan ke Alto. Pertanyaan yang tetap melekat diantara kepalaku yang butuh mencari ide untuk pekerjaanku.

Mengapa kita tidak pernah duduk satu meja dan memesan makanan?
Atau mengapa kita tidak mebuat janji untuk bertemu atau pergi bersama?

Moment-moment tak sempurna yang aku kumpulkan, yang membuatku berpikir tentangnya, tentang takdir dan alasan. Atau mungkin ini hanya sebuah kebetluan yang tidak pernah disengaja yang terjadi berulang-ulang...

Kemudian aku berpikir lagi, mungkin sudah sejak lama aku menyimpan sedikit harap, kita akan berjodoh dilain kesempatan.
Aku pun tersenyum melihat apa yang aku tulis di note. Tak lama kemudian satu pesan blackberry masuk ke handphoneku.
'Sampai kapan mau duduk sendirian, Red?'
Kalian tahu itu dari siapa?
Kami pun saling menatap dan tersenyum.




"Little Red Production"


Saturday 11 January 2014

Berjodoh dilain Kesempatan (part 1)


Apa kamu pernah berpikir sering punya kesempatan menghabiskan banyak moment bersama seseorang?
Banyak kesempatan, tapi kenyataannya kamu tidak pernah punya waktu dan kesempatan untuk mencintainya...

Dan saat asik menulis ini, dia datang menghampiriku. Akupun segera menutup note dimejaku, kemudian membalas sapaannya,
'hai sedang apa?'
'yah, seperti yang terlihat, ngopi, browsing, cari ide buat kerjaan :)'
Yah, aku tersenyum seperti itu dan menimpali dengan menanyakan hal-hal remeh. Acungan jempolku menandakan pembicaraan ringan itu sudah selesai. Hanya dua menit, dia pun pergi dan duduk kembali bersama dua teman lelakinya, berjarak dua meja dari arah kananku.
Kalian berpikir aku akan pindah meja dengan mereka? Tidak. Itu hanya akan membuatku canggung.
Aku memilih membuka kembali note di netbookku, membenarkan posisi duduk dan kacamataku, memasang wajah yang seolah sedang mebutuhkan konsentrasi tinggi.

Aku akan menuliskan ceritaku tentang dia.
Yah, kami saling mengenal, tapi aku tidak bisa mengatakan kalau kami berteman dekat, atau mempunyai hubungan yang lebih dari itu hanya karena kami pernah memasuki SMA yang sama.
Saat aku memasuki jenjang perguruan tinggi, dan harus pindah ke kota lain, kami bertemu sesekali di beberapa event, di bioskop, kafe, atau saat jalan-jalan sore. Sesekali yang kemudian menjadi agak sering, menurutku. Tapi semua itu, yah, secara tidak sengaja. Dan segala hal yang tidak sengaja itu berawal dari masa orientasi sekolah dulu. jauh bertahun-tahn yang lalu.

Namanya tidak pernah asing ditelingaku. Sangat mudah untuk diingat. Alto. Tas merek lokal buatan Bandung, mini car type buatan Suzuki, jenis suara rendah wanita yang juga merupakan jenis suaraku. Itulah namanya, entah apa maksud orang tuanya, atau siapapun yang telah memberi nama itu, yang jelas nama itu sangat mudah diingat.

Sebelum aku bertemu dengan dia, ada sedikit cerita awkward lainnya yang juga tidak disengaja. Ada seseorang yang aku rasa cukup gila yang menyukaiku di sekolah. Entah, seorang cowok iseng yang tetap tidak membuatku tertarik, atau pengagum yang rela melakukan apapun untuk idolanya. Namanya Adan, sebenarnya Adan tidak jahat, dia hanya sedikit aneh dan berbeda dari orang kebanyakan, meskipun begitu, Adan punya banyak teman. Kemudian entah bagaimana, Adan ingin mengenalkan aku dengan seorang temannya yang bernama Alto, dengan tujuan mungkin bisa kujadikan pacar. Ini kejadian pertama yang berhubungan dengan Alto yang tidak pernah aku rencanakan, yah, tidak disengaja.
Tapi saat itu aku benar-benar menolak rencana Adan, karena orang yang aku kira Alto terkenal sangat menyebalkan di sekolah.

Setelah agak lama, setelah rencana Adan yang gagal itu, kebetulan kedua adalah saat Adan menunjukkanku dari kejauhan siapa Alto yang sebenarnya. Itulah pertama kali aku tahu Alto yang asli, bukan yang pernah aku kira sebelumnya. Aku merasa cukup berbeda dengan Alto. Saat itu aku bergumam dalam hati 'Oh man, I'm not sure a guy like him will interest with me. Soo faar'
Sejak saat itu, kami tidak pernah benar-benar saling mengenal. Dan aku benar-benar merasa tidak akan pernah terjadi apa-apa antara aku dan Alto. It  won't work.

As I know, Alto lelaki yang dikenal banyak murid di Sekolah karena dia menarik secara fisik, cukup manis, cukup ramah, dan cukup pintar. Orang-orang akan menyukainya. Menurutku pun, maybe, he is born in that way. Sampai sekarang pun kharisma itu tetap melekat, single, pekerja keras, karyawan perusahaan bonafit. Enough for girls to think about him.

Back to memories... kejadian tidak disengaja selanjutnya adalah saat pertama kali kami bicara di kantin sekolah. Jelas bukan omongan serius. Sangat tidak serius, karena kami berebut untuk dilayani duluan. Hanya seperti itu, dan obrolan-obrolan tidak penting lainnya sampai terakhir aku bertemu dengannya beberapa saat lalu. Itu tidak akan membuat kami dekat apalagi untuk berbagi memori yang sama...